Tuesday, July 26, 2011

Best Friend Forever



Shabrina Nur Amalina

Pratiwi Patriana Artauli

Triastuti Kooswardini

Ratu Gina Nabila

Farah Fitriani Faruq



Thursday, July 21, 2011

I loved the way he asked me not to leave him again :)
- July 21th, 2011 -

Wednesday, July 6, 2011

Salah Rasa 2

Sudut pandang orang pertama dalam cerita

“Eh beb, kamu kenapa diem aja sih ?”, Arda berbicara sesekali kepadaku. Aku malas untuk menanggapi pertanyaannya itu yang kupikir itu hanya basa basi untuk memulai percakapan yang sudah dua puluh satu menit berdiam. Awalnya Arda adalah temanku di program Pasca Sarjana. Dia satu-satunya temanku yang mendapat beasiswa ke Australia bersamaku. Arda berasal dari Bogor. Sedangkan aku berasal dari Bandung. Di Australia, negeri asing ini, kami selalu bersama, seperti tak bisa terpisahkan. Aku selalu membutuhkan Arda, begitu pula sebaliknya. Setelah study kami berjalan delapan bulan, hubungan kami semakin dekat. Dan Arda memintaku untuk menjadi kekasihnya. Dia berkata ‘Kalau emang kita jodoh, aku ingin melamar kamu di depan orang tua kamu di Indonesia’. Aku menganggukkan kepala dengan hati berbunga pada saat itu. Arda memang orang yang perfect dimataku. Dia cerdas, baik hati, dan cintanya terasa sangat tulus padaku.

“Gak apa-apa kok. Habis nganter pulang ke asrama, kamu langsung pulang aja ya beb. Aku capek, ingin istirahat.”, sebenarnya aku bukan merasa bosan dengan Arda. Tapi entah mengapa saat aku menemukan tulisan Raka di websitenya tadi pagi, aku kembali teringat masa laluku. Raka yang dulu aku cintai. Raka yang bayangannya sudah mulai kulupakan setelah aku lulus program Sarjana Strata satu dulu.

Sebuah lagu dari radio mobil Arda membuat lamunanku jatuh lebih dalam.

Everything’s cool, yeah

It’s all gonna be okay, yeah

And I know maybe I’ll even laugh about it someday

But not today, no

Cause I don’t feel so good

I’m tangled up inside

My heart is on my sleeve

Tomorrow is a mystery to me

Letting you go is making me feel so cold, yeah

And I’ve been trying to make believe it doesn’t hurt

But that makes it worse, yeah

See I’m a wreck inside my tongue is tied

And my whole body feels so weak

The future may be all I really need

It was wonderful

It was magical

I was everything I’ve waited for, a miracle

And if I should ever fall in love again

With someone new

It could never be the way I loved you

Sungguh sebenarnya aku tak mau mendengar lirik lagu ini. Tapi tak mungkin juga kalau aku matikan saluran radio ini secara tiba-tiba. Lagu ini sungguh mengingatkanku pada Raka. Memang, apa yang aku jalani dengan Arda sekarang, sangat jauh berbeda dengan apa yang aku jalani dengan Raka. Aku mencintai Arda, tapi aku juga mencintai Raka. Raka seperti ruang dalam hati yang tak bisa tergantikan oleh apapun. Tapi apa daya. Aku tak bisa bertemu lagi dengan Raka yang juga telah bersama orang lain disana.

*****

“Desty !”, suara itu. Sangat kukenal.

“Tiaraaaa ! Bagaimana kabarmu sekarang? I really missed you. Kamu bekerja dimana sekarang? Ato kamu lanjutin S2 juga ya?”, kupeluk Tiara berulang kali. Tak peduli apa yang dipikirkan oleh orang yang berlalu lalang di Bandara. Aku benar-benar kangen dengan Tiara. Aku kangen Indonesia. “Sama siapa aja kesini?”

“Tadinya sih kami mau bikin surprise des. Oh ya, aku bareng sama . . .”, gaya bicara yang sudah lama tak kudengar.

“Oh ya, Tiara. Kamu udah tau belum sih? Aku sekarang sama Arda.”, ke peluk tangan Arda erat sambil memamerkan rasa sayangku padanya. Arda tersenyum padaku dan lanjut pada Tiara. Tetapi aku melihat mimik yang berbeda dari wajah Tiara.

“Oh, kalian udah lama ya. Kita jarang komunikasi sih ya Desty. Emhh, aku kesini bareng Raka, Des. Tuh Rakanya baru dari toilet.”, kata-kata terakhir Tiara ini benar-benar mencopotkan jantungku. Ku lepas genggaman tanganku dari Arda. Ku balikkan badanku ke belakang. Dan benar, Raka berjalan mendekat.

“Hai Raka,”

“Seneng banget ya dapet beasiswa S2 ke Australia. Bisa ketemu kanguru setiap hari.”, lelucon yang tak lucu, tapi kurindukan.

“Rizkinya mana Raka? Jangan-jangan ditinggal di mobil lagi ya? Bawa sini dong? Atau kita samperin aja yuk!”, sepertinya mereka semua melihat kesalahtingkahanku. Bicaraku tak ada hentinya demi menutupi kegugupanku bertemu dengan Raka.

“Beb, what’s going on? You look like unusual.”, ini hal yang tak pernah aku inginkan. Raka mengetahui kalau aku sekarang bersama Arda. Apalagi dia mendengar panggilan sayang Arda padaku, melihat Arda merangkul pundakku dengan erat. Tapii, mengapa aku merasa bertingkah aneh?

“Eh, Raka. Desty udah mau tunangan tuh sama Arda. Jangan jealous ya! Haha”, mengapa Tiara bicara seperti itu? Sindiran itu tambah membuatku salah tingkah. “Desty, Raka kan udah ditinggal nikah sama Rizki. Rizki sekarang udah nikah, terus pindah ke Batam ikut suaminya.”, aku tak tahu mengapa Tiara dapat berbicara segamblang itu dihadapan Arda. Aku sangat memikirkan perasaan Raka, yang pasti tak enak untuk berbicara.

Aku melihat kearah Arda, memberinya senyuman sambil melingkarkan lenganku di pinggangnya. Sejenak aku melihat Raka dari ujung ekor mataku, dia tak tersenyum. Raka menunduk. Raka, apa kau merasakan apa yang aku rasakan? Aku masih mencintaimu, tapi aku tak bisa. Aku sekarang tak bisa memilih dua orang sekaligus untuk mengisi hatiku. Hatiku sudah terisi oleh Arda yang sangat mencintaiku dan dirinya tidak dibayangi oleh seorang wanita manapun. Hanya aku. Rasa sakit hatiku dulu, benar menutupi rasa cintaku padamu Raka. Masa depanku denganmu tak tergambar begitu jelas seperti gambaran masa depanku bersama Arda.

It’s better kalau kita pergi ke suatu tempat makan gitu. Daripada berdiri ngehalangi orang jalan.”, ideku membuyarkan suasana saat itu. Aku tak bisa membiarkan hal ini terjadi.

Good idea, honey. Aku lapar banget.”, Arda melihat kearahku. Ketika kami saling berpandangan, ada suatu hal yang tak terucapkan tapi kami saling mengerti. Kami berempat berjalan menuju pintu keluar Bandara. Aku memang berniat untuk bertemu teman-teman saat liburan kali ini. Tapi yang bisa kutemui hanya Tiara dan Raka. Mungkin yang lainnya sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

*****

“Aduh, aku mendingan cuci tangan dulu deh ya?”, kataku. Kami makan di tempat makan yang tak jauh dari bandara.

“Aku ke toilet dulu ya?”, kata Raka. Saat aku sedang mencuci tangan, Raka ternyata datang menyusulku. Aku terkaget. Aku tak punya pikiran lagi selain memutuskan untuk segera kembali ke tempat Arda dan Tiara.

“Loh Raka, aku duluan ya!”

“Des, tunggu sebentar. Aku mau ngomong sama kamu, sebentar.”, aku tak bisa berkata lain selain

“Ehm, iya. Ada apa Raka?”

Raka bercerita tentang Rizki. Dia bercerita segalanya. Dia bercerita bahwa sebenarnya dia sudah tak mencintai Rizki. Saat dia putus dengan Rizki, dia memutuskan untuk kembali padaku. Tapi apa daya. Aku sudah tak ada lagi di Indonesia. Account facebookku pun deactive. Aku tak aktif menggunakan social network. Tak bisa menghubungiku. Itu hal yang paling dia jengkelkan, katanya. Dia bilang bahwa sampai sekarang dia tetap menungguku dan ingin serius denganku. “Tapi sayangnya, saat aku bertemu denganmu, kamu udah sama Arda.”, aku terpaku mendengar perkataan Raka. Kenapa baru sekarang Raka? Sungguh begitu terlambat. Aku sudah mantap bersama Arda.

“Aku ga minta jawabanmu kok Des. Cuma, aku nyesel aja kenapa aku terlambat”, Raka tersenyum kecil tapi sangat terlihat miris. Aku melangkah kearah luar untuk menggambarkan bahwa aku tidak ingin membicarakan ini lagi. Aku ingin kembali ke tempat Arda dan Tiara. Tapi saat aku melangkah untuk kedua kalinya,

“Des!”, Raka menarik tanganku dan memelukku. Erat. Sangat erat. Sebenarnya aku tak ingin ini terjadi. Hal ini membawaku ke memori tiga tahun yang lalu, saat aku masih menjadi kekasih Raka. Raka jangan buat aku merasa harus memilih lagi diantara kau dan Arda. Aku tak mau menyakiti hati Arda.

“Desty, aku sayang sama kamu. Aku mau kamu balik sama aku. Aku mau kamu jadi isteriku.”, dekapannya semakin erat. Tak terasa tanganku menggapai punggungnya. Sesaat aku akan menjawab kalau aku juga masih mencintainya,

“Beb, kamu lagi ngapain di depan toilet begini? Sama Raka?”, kulepaskan tanganku dari Raka. Ku dorong badan Raka agar jauh dariku. Raka tak merasa bersalah, lain halnya denganku. Aku sangat merasa bersalah. Berdosa.

“Arda, kamu lagi ngapain disini?”

“Loh, harusnya aku yang Tanya kamu. Kamu lagi ngapain depan toilet. Sama Raka. Dan ber. . .”

“Itu gak sama kayak yang kamu liat Beb. Aku sayang kamu”, aku langsung memeluk Arda.

“Kamu kenapa sayang? Makanannya udah datang tapi kalian disini lama banget. Ntar makanannya dingin loh. Mari Raka.”, ternyata tak ada prasangka buruk di dalam pikiran Arda. Aku baru teringat kalau di Australia, berpelukan itu sudah seperti hal biasa. Diantara teman maupun orang lain. Mungkin Arda hanya menganggap Raka memelukku sebagai teman, tidak lebih. Rasa syukur terus ku teriakkan dalam hati. Aku masih sayang Raka. Memang benar. Mungkin sebenarnya Raka merasakan bahwa aku masih mencintainya.

*****

Handphoneku bergetar. Ternyata tanda dari pesan baru di BBM (Blackberry Messenger). Ku lihat, ternyata Raka meng-invite BBM-ku. Apa ini? Tak mungkin aku ignore.

“Loh, itu kan Raka. Kenapa gak di accept? Aku accept ya Beb?”, Arda merebut handphoneku. Tak mungkin kurebut balik untuk menghapus BBM Raka.

“Iya, belum aku accept. Tadinya aku mau minta pendapatmu dulu.”

“Kenapa harus sih? Ya tinggal accept aja. Dia kan temen kamu. Temen aku juga”, tak tunggu jawaban dariku, Arda langsung meng-accept BBM Raka. Aku tak tahu sebenarnya apa yang ada dipikiran Arda. Apa Arda tak tahu kalau dulu aku pernah mempunyai hubungan dengan Raka? Tapi itu tak mungkin karena aku sudah membuka semua yang pernah aku alami. Aku bercerita tentang keluargaku dan kehidupanku. Karena aku sudah bersama Arda selama hamper satu tahun. Tak mungkin aku tak menceritakan segalanya pada Raka.

*****

Halo Desty, pasti kamu belum bangun ya? Ayok bangun udah siang loh

Apa sih Raka. Sekarang masih jam 5 pagi disini. Aku mau tidur lagi aja deh.

Loh, jangan tidur dong Desty. Temenin aku, di kantorku belum ada siapa-siapa.

Iya deh iya. Lagian ngapain sih ke kantor terlalu pagi!

Benakku berkata ‘Belakangan ini, mengapa Raka sering menghubungiku lewat bbm? Arda pun tak pernah membangunkanku. Arda menghubungiku tiap kali dia mau menjemputku untuk berangkat ke kampus. Ah… entahlah.’

Raka semakin sering menghubungiku lewat BBM. Kali ini, ada hal yang tidak aku ceritakan pada Arda. Aku tak menceritakan tentang Raka yang belakangan ini sering menghubungiku. Setiap Raka mengirimkan pesan, aku membalasnya dan langsung menghapus pesannya itu. Ya Tuhan, semoga ini bukan berarti aku membohongi Arda.

Desty, lagi apa?

Lagi sendiri aja dkamar. Sambil nyari bahan kuliah. Kamu lagi apa Ka? Ga sibuk?

Aku lagi sibuk nih. Sibuk mikirin kamu. Kemarin aku mimpiin kamu loh. Mimpiin waktu kita pacaran dulu.

Ga usah gitu juga kali Ka. Aku belajar dulu ya.

Aku selalu takut kalau Raka mulai mengirimkan pesan yang menjurus itu. Aku berusaha memotong pembicaraan kami. Aku takut. Aku takut kalau rasa sayangku pada Raka akan tumbuh. Walaupun lambat laun. Sebelumnya, aku sangat ingin menghapus contact Raka. Tapi hatiku berkata ‘Kalau dihapus, ntar ngehubungi Raka darimana? Aku gak punya facebook atau twitter. Nomor handphone-nya pun aku tak punya.’

** to be continue**

Membuat Hati Berbunga-bunga Itu Memang Tidak Dilarang

20 Juli 2011

Aku pergi mengantar Tanteku membeli kain untuk pesta bersama Adikku Dessy. Kami, Dessy dan aku, sedikit kelelahan karena Tanteku itu tidak hentinya membandingkan beberapa kain yang akan dipilihnya. Dia bilang

“Sekalian yang bagus aja! Biar ga usah bolak balik lagi.”. Tapi mencari yang paling bagus dari beribu gulungan kain di toko kain yang kami masuki, sangat sulit sekali.

Akhirnya karena Dessy dan aku sangat bosan dan jenuh melihat Tante yang gencar mencari kain yang menurutnya perfect, kami memutuskan untuk pergi keluar toko untuk membeli minuman segar. Dessy membeli jus sirsak, sedangkan aku hanya membeli air mineral.

Saat di perjalanan kembali ke toko, kami bertemu dengan seorang lelaki. Lelaki itu mengikuti kami dari belakang. Mulai dari escalator, lelaki itu menyahut tiba tiba dengan nada yang cukup terdengar sampai telingaku,

“Neng, cantik banget sih”. Sekali itu tak kudengar, adikku hanya tertawa miris sambil menyipitkan matanya padaku. Aku tersenyum kecil dan menarik lengan adikku,

“Ayok! Cepetan!”.

Setelah kami sampai toko kain tadi tempat Tanteku memilih kain, lelaki itu ternyata masih ada di belakangku. Aku takut kalau dia itu adalah penghipnotis. Aku berjalan mendekati abang pemilik toko kain itu. Aku berdiri di belakangnya berusaha menghilangkan jejak. Ternyata lelaki itu masih saja dapat melihatku. Adikku dan Tanteku tak menyadarinya. Tiba tiba dia berdiri di depanku mengagetkan

“Neng, cantik banget sih? Saya sampai terharu loh liatnya.”.

Apa maksudnya? Aku sedikit aneh dan merasa kalau orang itu sangat tidak sopan.

“Apaan sih?”, kataku ketus. Akhirnya orang itu pergi meninggalkan toko. Adikku melihat kearahku dan tak kuasa menahan tawa yang ada dikerongkongannya,

“Hahaha, parah banget bikin orang terharu. Hahaha”

“Jangan gitu Tres, harusnya aminin aja. Omongan kan do’a hehe”, sambung Tanteku.

“Tapi kan itu gak sopan”, balasku murung.

22 Juni 2011

Tanteku memintaku untuk mengantarnya ke toko kain yang kemarin dia membeli kain. Kali ini dia mau memintaku mengantanrnya membeli kain untuk dijadikan kerudung, kain yang berwarna sama dengan kain yang dia beli kemarin. Tak ada yang harus kulakukan hari itu, aku memutuskan untuk mengiyakan permintaannya. Kali ini aku tak bersama adikku karena dia harus mengambil hasil nilai UASnya di sekolah.

Sampai di toko itu, aku takut dan khawatir akan bertemu dengan orang yang menurutku aneh kemarin. Aku tak berkeinginan untuk keluar toko kain.

Setelah beberapa lama, akhirnya kami bergegas pulang. Tak ada orang aneh lagi ternyata. Di tengah perjalanan, saat turun dari escalator, Tanteku menunjuk ke sebuah toko baju muslim. ‘Tak bisakah kita langsung pulang? ’, gertak hatiku.

Kami memasuki toko baju muslim tersebut.

“Bagus ya ini? ”

“Bagus sih, tapi kainnya biasa ini. Ceruty kan ya?”, kataku sok tahu karena ingin bergegas pulang meninggalkan toko ini.

“Tapi modelnya bagus. Jarang dimana-mana”, sahut Tanteku.

“Iya, kami memang di butik kami tidak ada model yang dicontoh toko lain”, sambung pembantu di toko itu.

Tiba-tiba ada seorang lelaki dari belakangku. “Bu, anaknya mirip Ashanty ya?”, kata lelaki itu mengagetkanku. Dalam hatiku, ‘Amin banget deh dibilang mirip Ashanty.’ Tetapi diwajahku tak ada mimic yang mengatakan bahwa aku senang. Aku tak mendengarkan perkataan orang itu. Beberapa waktu, dia berlaku tidak wajar lagi (menurutku).

Jepret! Jepret!, ‘Loh ngapain dia foto-foto aku? Jelas bangetlah handphone-nya itu memakai blitz!’, aku sedikit terganggu. Tidak, tidak sedikit, banyak. Aku sedikit merengek pada Tanteku,

“Ayok ah pulang!”

“Apa sih Ashanty?”, ejekan Tanteku yang sangat menjengkelkan hati.

Akhirnya langkah kakinya member tahu kalau dia memutuskan untuk meninggalkan toko itu. Di perjalanan dia mengejekku lagi’

“Cie, dipanggil Ashanty, seneng banget ya? Kok gak di aminin lagi?”

“Amin amin. Itu bukan aku yang mirip Ashanty kali, bajuku yang mirip Ashanty.”, kataku mengalihkan pembicaraan.

Dua kali aku ke toko yang sama, dan mendapatkan entah namanya pujian atau olok-olokan saja, yang menurutku hampir mirip. Tapi setelah dipikir-pikir, tak ada salahnya juga orang-orang itu berbuat seperti itu, toh sedikitnya mereka membuat hatiku berbunga HAHAHA J

Salah Rasa

Sudut pandang orang pertama dalam cerita

“Des, serius kamu gak tau?”, nada Tiara semakin tinggi meyakinkan dirinya sendiri.

“Emang aku gak tau. Makanya kasihtau aku dong biar aku gak penasaran lagi”, sahutku dengan nada tenang meminta Tiara memberitahu hal itu.

“Itu loh, Raka putus sama ceweknya.”

“Are you serious? Wow.”, aku terkaget dari ketenanganku. Bibirku tergerak untuk tersenyum kecil menampakkan rasa senang.

“Kaget banget ya?”

“Gak juga kok haha”, semoga Tiara tidak tahu kalau aku sedang tertawa bahagia dalam hati mendengar berita Raka putus dengan kekasihnya itu. Kusembunyikan rasa senang ini. Aku memiliki gengsi yang sangat tinggi memang.

*****

Kubuka pintu rumahku pelan, aku tak ingin Ibu dan Ayahku terbangun karena kepulangan anak perempuan semata-wayangnya ini di malam hari. Kulangkahi lantai dibawah kakiku menuju kamar tidurku. Terpikir lagi olehku ‘Raka putus sama ceweknya’. Ya Tuhan, apakah ini pertanda dari doaku? Senyum tersungging di bibirku.

*****

Hari ini acara Pagelaran Seni Universitas digelar. Hatiku dag dig dug karena kupikir aku akan bertemu Raka di acara ini. Aku berpartisipasi di acara ini sebagai staf Konsumsi sedangkan Raka sebagai kepala divisi Keamanan. Mungkin begitu dekat.

“Hai Desty!”, suara itu. Siapa? Aku menoleh ke belakangku.

“Oh, hai. Raka! Dateng dari tadi?”, pantas saja suara itu tak asing bagi telingaku itu. Suara Raka yang dahulu sering kudengar begitu dekat. Aku dan Raka dahulu pernah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Tapi entah mengapa, kami memutuskannya. Raka pernah memintaku untuk menjadi kekasihnya lagi, tapi aku menolaknya. Mungkin dia tidak mendekatiku lagi karena dia merasa tersingkirkan oleh perkataanku yang menolaknya dengan tegas dan menyakitkan hati itu. Padahal pada kenyataannya, hatiku tak bisa melupakan Raka dan kebaikannya. Ini hanya masalah restu Ayahku. Ayah memang tak suka aku berpacaran sebelum cita-citaku tercapai. Ayah pernah menyarankan ‘Kalau kamu mau berpacaran, silakan tinggalkan kuliahmu. Kalau kau mau kuliah dengan baik, belajarlah dan jangan berpacaran. Setidaknya waktumu akan terbagi’. Tetapi apa yang kurasakan sekarang, waktuku lebih tersita untuk memikirkan Raka saat dia sudah tak kumiliki lagi. Aku takut dia bersama seorang lain disana. Aku takut dia ada yang memiliki. Aku tak bisa memintanya untuk menungguku sampai tali togaku berpindah ke sebelah kanan.

“Desty, minumnya kok bukan Aqua?”, suara Raka kali ini benar-benar mengagetkanku. Aku tak sadar dia telah mengangkat kardus yang penuh dengan botol minum itu. Sampai dia membuka kardus itu dan mengambil satu botol air mineralnya pun aku tak sadar. Aku terbayang masa-masa kita dulu, Raka.

“Kita kan lagi kekurangan dana, wajarlah beli air yang paling murah.”, kataku sangat datar demi menutupi senang yang sedang aku rasakan. “Ok, aku ke ruang panitia dulu ya. Thanks udah bantu.”

Di ruang panitia aku duduk di tumpukan tas yang lumayan empuk untuk dijadikan tempat bersandar. Teringat hal yang baru saja kulakukan, aku merasa menyesal. Aku ini bodoh atau apa? Aku ini tak ada keberanian sedikit pun untuk bicara lebih lama dengan Raka. Mungkin dari suasana tadi, Raka bisa mulai menyukaiku lagi. Tak pedulilah nasihat dari Ayahku itu. Raka, aku masih sayang kamu.

*****

Acara Pagelaran Seni akhirnya selesai juga. Dini hari. Aku berpikir Raka akan menawarkan tumpangan padaku untuk mengantarku pulang. Aku menunggu Raka memanggil namaku. Sesekali kutengok ke samping kanan, untuk memastikan dia masih ada di tempat ini.

“Desty!”

“Ya?”, kepalaku langsung menoleh semangat. “Ehm, apa La?”, ternyata Lala.

“Pulang bareng aku ya, aku udah telfon taksi kok.”

“Oh, ok deh.”, Raka tidak menawarkan tumpangan padaku, memanggilku saja tidak. Apa yang aku pikirkan? Sudahlah.

*****

Aku tak tenang. Perasaanku sangat gelisah. Malam ini aku tak bisa tidur. Mataku tak lelah sedikitpun. Daripada tak ada yang kukerjakan, lebih baik kubuka twitter dan facebook-ku. Tak ada teman dekatku yang on line di twitter. Aku hanya me-retweet kutipan-kutipan yang menurutku bagus dan sesuai dengan hatiku pada malam ini. Merasa bosan kupindahkan kursor ke Facebook Page. Kulihat notification yang tidak terlalu banyak di Home-ku.

Loh, apa ini? Please ya Tuhan. Aku gak salah baca kan? Aku menangis sejadi-jadinya. Tak kuasa kulihat apa yang baru saja ku baca. “Raka Rahadian being in relationship with Rizki Rahmaputri”. Mengapa? Mengapa harus selalu begini? Aku selalu salah dalam melakukan sesuatu. Lebih baik aku tak tahu kalau Raka telah putus dari Rizki. Lebih baik aku tak menanyakan pada Tiara apa yang akan dia katakanya. Lebih baik aku tak tahu semuanya tentang Raka. Lebih baik aku berpikir kalau Raka akan mengantarkanku pulang. Lebih baik aku tak berpikir sebegitu jauh kalau Raka akan memiliki perasaan yang sama terhadapku. Raka akan mencintaiku seperti aku mencintainya. Lebih baik aku mendengarkan nasihat Ayah ‘Kalau kamu mau berpacaran, silakan tinggalkan kuliahmu. Kalau kau mau kuliah dengan baik, belajarlah dan jangan berpacaran. Setidaknya waktumu akan terbagi’. Dan tak seharusnya sampai sekarang aku masih mengharapkan Raka.

Aku tutup semua social network page -ku. Ku putar lagu If This Was A Movie dari Taylor Swift.

Last night I heard my own heart beating

Sounded like footstep on my stairs

Six months gone and I’m still reaching

Even though I know you’re not there

I was playing back a thousand memories, baby

Thinking everything we’ve been trough

Maybe I’ve been going back too much lately

When time stood still, and I had you

. . . . .

Now I’m pacing down the hall, chasing down your street

Flashback to the night when you said to me

Nothing’s gunna change, not for me and you

Not before I knew how much I had to lose.

Come back, come back, come back to me like

You would, you would if this was a movie

Stand in the rain outside ‘till I came out

Come back come back, come back to me like

You could, you could, if you just said you’re sorry

I know that we could work it out somehow

But if this was a movie, you’d be here by now.

If you’re after, if you’re someone, if you’re moving on

I’ve been waiting for you since you’ve been gone

I just want it back the way it was before

I just wanna see you back in my front door.

. . . . .

I thought that you’d be here by now.