Wednesday, July 6, 2011

Salah Rasa 2

Sudut pandang orang pertama dalam cerita

“Eh beb, kamu kenapa diem aja sih ?”, Arda berbicara sesekali kepadaku. Aku malas untuk menanggapi pertanyaannya itu yang kupikir itu hanya basa basi untuk memulai percakapan yang sudah dua puluh satu menit berdiam. Awalnya Arda adalah temanku di program Pasca Sarjana. Dia satu-satunya temanku yang mendapat beasiswa ke Australia bersamaku. Arda berasal dari Bogor. Sedangkan aku berasal dari Bandung. Di Australia, negeri asing ini, kami selalu bersama, seperti tak bisa terpisahkan. Aku selalu membutuhkan Arda, begitu pula sebaliknya. Setelah study kami berjalan delapan bulan, hubungan kami semakin dekat. Dan Arda memintaku untuk menjadi kekasihnya. Dia berkata ‘Kalau emang kita jodoh, aku ingin melamar kamu di depan orang tua kamu di Indonesia’. Aku menganggukkan kepala dengan hati berbunga pada saat itu. Arda memang orang yang perfect dimataku. Dia cerdas, baik hati, dan cintanya terasa sangat tulus padaku.

“Gak apa-apa kok. Habis nganter pulang ke asrama, kamu langsung pulang aja ya beb. Aku capek, ingin istirahat.”, sebenarnya aku bukan merasa bosan dengan Arda. Tapi entah mengapa saat aku menemukan tulisan Raka di websitenya tadi pagi, aku kembali teringat masa laluku. Raka yang dulu aku cintai. Raka yang bayangannya sudah mulai kulupakan setelah aku lulus program Sarjana Strata satu dulu.

Sebuah lagu dari radio mobil Arda membuat lamunanku jatuh lebih dalam.

Everything’s cool, yeah

It’s all gonna be okay, yeah

And I know maybe I’ll even laugh about it someday

But not today, no

Cause I don’t feel so good

I’m tangled up inside

My heart is on my sleeve

Tomorrow is a mystery to me

Letting you go is making me feel so cold, yeah

And I’ve been trying to make believe it doesn’t hurt

But that makes it worse, yeah

See I’m a wreck inside my tongue is tied

And my whole body feels so weak

The future may be all I really need

It was wonderful

It was magical

I was everything I’ve waited for, a miracle

And if I should ever fall in love again

With someone new

It could never be the way I loved you

Sungguh sebenarnya aku tak mau mendengar lirik lagu ini. Tapi tak mungkin juga kalau aku matikan saluran radio ini secara tiba-tiba. Lagu ini sungguh mengingatkanku pada Raka. Memang, apa yang aku jalani dengan Arda sekarang, sangat jauh berbeda dengan apa yang aku jalani dengan Raka. Aku mencintai Arda, tapi aku juga mencintai Raka. Raka seperti ruang dalam hati yang tak bisa tergantikan oleh apapun. Tapi apa daya. Aku tak bisa bertemu lagi dengan Raka yang juga telah bersama orang lain disana.

*****

“Desty !”, suara itu. Sangat kukenal.

“Tiaraaaa ! Bagaimana kabarmu sekarang? I really missed you. Kamu bekerja dimana sekarang? Ato kamu lanjutin S2 juga ya?”, kupeluk Tiara berulang kali. Tak peduli apa yang dipikirkan oleh orang yang berlalu lalang di Bandara. Aku benar-benar kangen dengan Tiara. Aku kangen Indonesia. “Sama siapa aja kesini?”

“Tadinya sih kami mau bikin surprise des. Oh ya, aku bareng sama . . .”, gaya bicara yang sudah lama tak kudengar.

“Oh ya, Tiara. Kamu udah tau belum sih? Aku sekarang sama Arda.”, ke peluk tangan Arda erat sambil memamerkan rasa sayangku padanya. Arda tersenyum padaku dan lanjut pada Tiara. Tetapi aku melihat mimik yang berbeda dari wajah Tiara.

“Oh, kalian udah lama ya. Kita jarang komunikasi sih ya Desty. Emhh, aku kesini bareng Raka, Des. Tuh Rakanya baru dari toilet.”, kata-kata terakhir Tiara ini benar-benar mencopotkan jantungku. Ku lepas genggaman tanganku dari Arda. Ku balikkan badanku ke belakang. Dan benar, Raka berjalan mendekat.

“Hai Raka,”

“Seneng banget ya dapet beasiswa S2 ke Australia. Bisa ketemu kanguru setiap hari.”, lelucon yang tak lucu, tapi kurindukan.

“Rizkinya mana Raka? Jangan-jangan ditinggal di mobil lagi ya? Bawa sini dong? Atau kita samperin aja yuk!”, sepertinya mereka semua melihat kesalahtingkahanku. Bicaraku tak ada hentinya demi menutupi kegugupanku bertemu dengan Raka.

“Beb, what’s going on? You look like unusual.”, ini hal yang tak pernah aku inginkan. Raka mengetahui kalau aku sekarang bersama Arda. Apalagi dia mendengar panggilan sayang Arda padaku, melihat Arda merangkul pundakku dengan erat. Tapii, mengapa aku merasa bertingkah aneh?

“Eh, Raka. Desty udah mau tunangan tuh sama Arda. Jangan jealous ya! Haha”, mengapa Tiara bicara seperti itu? Sindiran itu tambah membuatku salah tingkah. “Desty, Raka kan udah ditinggal nikah sama Rizki. Rizki sekarang udah nikah, terus pindah ke Batam ikut suaminya.”, aku tak tahu mengapa Tiara dapat berbicara segamblang itu dihadapan Arda. Aku sangat memikirkan perasaan Raka, yang pasti tak enak untuk berbicara.

Aku melihat kearah Arda, memberinya senyuman sambil melingkarkan lenganku di pinggangnya. Sejenak aku melihat Raka dari ujung ekor mataku, dia tak tersenyum. Raka menunduk. Raka, apa kau merasakan apa yang aku rasakan? Aku masih mencintaimu, tapi aku tak bisa. Aku sekarang tak bisa memilih dua orang sekaligus untuk mengisi hatiku. Hatiku sudah terisi oleh Arda yang sangat mencintaiku dan dirinya tidak dibayangi oleh seorang wanita manapun. Hanya aku. Rasa sakit hatiku dulu, benar menutupi rasa cintaku padamu Raka. Masa depanku denganmu tak tergambar begitu jelas seperti gambaran masa depanku bersama Arda.

It’s better kalau kita pergi ke suatu tempat makan gitu. Daripada berdiri ngehalangi orang jalan.”, ideku membuyarkan suasana saat itu. Aku tak bisa membiarkan hal ini terjadi.

Good idea, honey. Aku lapar banget.”, Arda melihat kearahku. Ketika kami saling berpandangan, ada suatu hal yang tak terucapkan tapi kami saling mengerti. Kami berempat berjalan menuju pintu keluar Bandara. Aku memang berniat untuk bertemu teman-teman saat liburan kali ini. Tapi yang bisa kutemui hanya Tiara dan Raka. Mungkin yang lainnya sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

*****

“Aduh, aku mendingan cuci tangan dulu deh ya?”, kataku. Kami makan di tempat makan yang tak jauh dari bandara.

“Aku ke toilet dulu ya?”, kata Raka. Saat aku sedang mencuci tangan, Raka ternyata datang menyusulku. Aku terkaget. Aku tak punya pikiran lagi selain memutuskan untuk segera kembali ke tempat Arda dan Tiara.

“Loh Raka, aku duluan ya!”

“Des, tunggu sebentar. Aku mau ngomong sama kamu, sebentar.”, aku tak bisa berkata lain selain

“Ehm, iya. Ada apa Raka?”

Raka bercerita tentang Rizki. Dia bercerita segalanya. Dia bercerita bahwa sebenarnya dia sudah tak mencintai Rizki. Saat dia putus dengan Rizki, dia memutuskan untuk kembali padaku. Tapi apa daya. Aku sudah tak ada lagi di Indonesia. Account facebookku pun deactive. Aku tak aktif menggunakan social network. Tak bisa menghubungiku. Itu hal yang paling dia jengkelkan, katanya. Dia bilang bahwa sampai sekarang dia tetap menungguku dan ingin serius denganku. “Tapi sayangnya, saat aku bertemu denganmu, kamu udah sama Arda.”, aku terpaku mendengar perkataan Raka. Kenapa baru sekarang Raka? Sungguh begitu terlambat. Aku sudah mantap bersama Arda.

“Aku ga minta jawabanmu kok Des. Cuma, aku nyesel aja kenapa aku terlambat”, Raka tersenyum kecil tapi sangat terlihat miris. Aku melangkah kearah luar untuk menggambarkan bahwa aku tidak ingin membicarakan ini lagi. Aku ingin kembali ke tempat Arda dan Tiara. Tapi saat aku melangkah untuk kedua kalinya,

“Des!”, Raka menarik tanganku dan memelukku. Erat. Sangat erat. Sebenarnya aku tak ingin ini terjadi. Hal ini membawaku ke memori tiga tahun yang lalu, saat aku masih menjadi kekasih Raka. Raka jangan buat aku merasa harus memilih lagi diantara kau dan Arda. Aku tak mau menyakiti hati Arda.

“Desty, aku sayang sama kamu. Aku mau kamu balik sama aku. Aku mau kamu jadi isteriku.”, dekapannya semakin erat. Tak terasa tanganku menggapai punggungnya. Sesaat aku akan menjawab kalau aku juga masih mencintainya,

“Beb, kamu lagi ngapain di depan toilet begini? Sama Raka?”, kulepaskan tanganku dari Raka. Ku dorong badan Raka agar jauh dariku. Raka tak merasa bersalah, lain halnya denganku. Aku sangat merasa bersalah. Berdosa.

“Arda, kamu lagi ngapain disini?”

“Loh, harusnya aku yang Tanya kamu. Kamu lagi ngapain depan toilet. Sama Raka. Dan ber. . .”

“Itu gak sama kayak yang kamu liat Beb. Aku sayang kamu”, aku langsung memeluk Arda.

“Kamu kenapa sayang? Makanannya udah datang tapi kalian disini lama banget. Ntar makanannya dingin loh. Mari Raka.”, ternyata tak ada prasangka buruk di dalam pikiran Arda. Aku baru teringat kalau di Australia, berpelukan itu sudah seperti hal biasa. Diantara teman maupun orang lain. Mungkin Arda hanya menganggap Raka memelukku sebagai teman, tidak lebih. Rasa syukur terus ku teriakkan dalam hati. Aku masih sayang Raka. Memang benar. Mungkin sebenarnya Raka merasakan bahwa aku masih mencintainya.

*****

Handphoneku bergetar. Ternyata tanda dari pesan baru di BBM (Blackberry Messenger). Ku lihat, ternyata Raka meng-invite BBM-ku. Apa ini? Tak mungkin aku ignore.

“Loh, itu kan Raka. Kenapa gak di accept? Aku accept ya Beb?”, Arda merebut handphoneku. Tak mungkin kurebut balik untuk menghapus BBM Raka.

“Iya, belum aku accept. Tadinya aku mau minta pendapatmu dulu.”

“Kenapa harus sih? Ya tinggal accept aja. Dia kan temen kamu. Temen aku juga”, tak tunggu jawaban dariku, Arda langsung meng-accept BBM Raka. Aku tak tahu sebenarnya apa yang ada dipikiran Arda. Apa Arda tak tahu kalau dulu aku pernah mempunyai hubungan dengan Raka? Tapi itu tak mungkin karena aku sudah membuka semua yang pernah aku alami. Aku bercerita tentang keluargaku dan kehidupanku. Karena aku sudah bersama Arda selama hamper satu tahun. Tak mungkin aku tak menceritakan segalanya pada Raka.

*****

Halo Desty, pasti kamu belum bangun ya? Ayok bangun udah siang loh

Apa sih Raka. Sekarang masih jam 5 pagi disini. Aku mau tidur lagi aja deh.

Loh, jangan tidur dong Desty. Temenin aku, di kantorku belum ada siapa-siapa.

Iya deh iya. Lagian ngapain sih ke kantor terlalu pagi!

Benakku berkata ‘Belakangan ini, mengapa Raka sering menghubungiku lewat bbm? Arda pun tak pernah membangunkanku. Arda menghubungiku tiap kali dia mau menjemputku untuk berangkat ke kampus. Ah… entahlah.’

Raka semakin sering menghubungiku lewat BBM. Kali ini, ada hal yang tidak aku ceritakan pada Arda. Aku tak menceritakan tentang Raka yang belakangan ini sering menghubungiku. Setiap Raka mengirimkan pesan, aku membalasnya dan langsung menghapus pesannya itu. Ya Tuhan, semoga ini bukan berarti aku membohongi Arda.

Desty, lagi apa?

Lagi sendiri aja dkamar. Sambil nyari bahan kuliah. Kamu lagi apa Ka? Ga sibuk?

Aku lagi sibuk nih. Sibuk mikirin kamu. Kemarin aku mimpiin kamu loh. Mimpiin waktu kita pacaran dulu.

Ga usah gitu juga kali Ka. Aku belajar dulu ya.

Aku selalu takut kalau Raka mulai mengirimkan pesan yang menjurus itu. Aku berusaha memotong pembicaraan kami. Aku takut. Aku takut kalau rasa sayangku pada Raka akan tumbuh. Walaupun lambat laun. Sebelumnya, aku sangat ingin menghapus contact Raka. Tapi hatiku berkata ‘Kalau dihapus, ntar ngehubungi Raka darimana? Aku gak punya facebook atau twitter. Nomor handphone-nya pun aku tak punya.’

** to be continue**

No comments:

Post a Comment